Rabu, 05 Juni 2013

PEMUNGUTAN PAJAK



2.1 Dasar Teori Pemungutan Pajak
  1. Teori Asuransi
Teori ansuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh Negara. Negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga Negara membayar pajak sebagai premi. Teori ansuransi ini hanya member landasan saja, karena pada dasarnya teori ini tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak.
  1. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai Negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga Negara dengan memerhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaaan Negara, semakin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
  1. Teori Gaya Pikul
Teori ini adalah asas keadilan yang setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu-individu), perlu diperhatikan antara besaranya penghasilan atau kekayaan dengan pengeluaran belanja si wajib pajak tersebut. Teori gaya pikul ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih menekankan pada unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
Gaya pikul adalah kemampuan wajib pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Gaya pikul mengandung dua unsur yaitu:
a.       Unsur subyektif ini mencakup segala kebutuhan terutama material di samping moral dan spiritual. Dengan demikian pajak subyektif harus memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup minimum dan memperhatikan faktor-faktor perseorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya hidup, seperti jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.
b.      Unsur obyektif ini terdiri dari pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran).
  1. Teori Daya Beli
Teori yang menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara dimaksudkaan untuk memelihara masyarakat dalam Negara yang bersangkutan. Fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
  1. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi Negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu maka timbul hak mutlak Negara untuk memungut pajak. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada Negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara merupakan bakti dari masyarakat kepada Negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakat.


2.2 Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak.
  1. Asas Tempat Tinggal
Merupakan asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang, tanpa memerhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga Negara asing.
2.      Asas Kebangsaan
Merupakan asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu Negara. Suatu Negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas Negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak tinggal di Negara yang bersangkutan.
  1. Asas Sumber
Merupakan asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu Negara maka Negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada.


2.3 Stelsel Pemungutan Pajak
            Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu stelsel fiksi, stelsel riil, dan kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil.
a.      Stelsel Fiksi (Pengenaan di Depan)
Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU. Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya ,menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan yang demikian, fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak pada tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.

b.      Stelsel Riil (Pengenaan di Belakang)
Pengenaan di belakang  merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya pajak yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara di belakang diketahui dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 29, yang selengkapnya menyatakan: Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalm Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

c.       Kombinasi Stelsel Fiksi dan Stelsel Riil (Pengenaan Cara Campuran)
Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasrkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prisipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh pemerintah.


2.4 Penggolongan Jenis Pajak
            Jenis-jenis pajak dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu menurut sifatnya, objeknya, dan lembaga pemungutannya.
a.      Menurut Sifatnya
Terbagi menjadi 2 yaitu, pajak langsung dan tidak langsung.
-          Pajak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya PPh.

-          Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.


b.      Menurut Sasaran/Objeknya
Terbagi menjadi dua yaitu, pajak subjektif dan pajak objektif.

-          Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjenya barulah diperhatikan keadaan objeknya sesuai gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya PPh.

-          Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan /melihat objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah itu, baru dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hokum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
c.       Menurut Lembaga Pemungutannya
Pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).

1.      Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan dmasukkan sebagai bagian dari APBN. Jenis pajak pusat adalah PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.      Pajak daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari APBD. Sesuai UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dipenda adalah :

- Pajak Daerah Tk. I :
   a. Pajak Kendaraan Bermotor
   b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
   c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

- Pajak Daerah Tk. II:
         a. Pajak Hotel dan Restaurant
         b. Pajak Hiburan
         c. Pajak Reklame
         d. Pajak Penerangan Jalan
         e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
         f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

         Selain itu ada juga tiga jenis retribusi yaitu, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.

2.5     Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dilakukan dengan empat cara :

1. Official Assessment System
Sistem ini dilaksanakan sampai pada tahun 1967. Pada sistem ini wewenang pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiscus memiliki hak untuk menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak, sebagai bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi Wajib Pajak (WP) bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya. Sistem ini menguntungkan pihak fiscus yang menyalahgunakan kewenangannya untuk mencari kesempatan dalam kesempitan misalnya dalam proses negosiasi penetapan atau perhitungan besarnya pajak seringkali muncul tawar menawar antara fiscus dan WP. Hal ini dimungkinkan juga karena pada sistem ini petugas pajaklah yang mendatangi masyarakat untuk mendaftar warga masyarakat sebagai WP.
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aparat perpajakan, yang berakibat kurangnya kesadaran atau tanggung jawab dari WP dalam memikul beban negara yang pada hakekatnya adalah untuk kepentingannya sendiri dalam bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan;

2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.

3. Full self assessment system
Sistem ini berlaku efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983. Pada sistem ini WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan sehingga WP harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang tanpa campur tangan dari fiscus. Penerapan sistem ini untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya

PERPAJAKAN



2.1 Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti ( pemberian secara cuma- cuma ), tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat ( masyarakat). Pada saat itu pajak digunakan untuk kepentingan/keperluan raja atau penguasa setempat dan tanpa imbalan/ prestasi yang dikembalikan kepada rakyat.Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu sendiri.Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk suatu negara dan dengan dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak melatarbelakangi dibuatnya suatu ketentuan berupa UU yang mengatur tentang tata cara pemungutan pajak, serta besarnya pajak yang harus dibayar. Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.      Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
2.      Aturan Bea Meterai;
3.      Ordonansi Bea Balik Nama;
4.      Ordonansi Pajak Kekayaan;
5.      Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
6.      Ordonansi Pajak Upah;
7.      Ordonansi Pajak Potong;
8.      Ordonansi Pajak Pendapatan;
9.      Undang-undang Pajak Radio;
10.  Undang-undang Pajak Pembangunan I;
11.  Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
·         UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
·         UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
·         UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
·         UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
·         UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs     atau Tata Cara MPS-MPO.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
·         UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
·         UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
·         UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
·         UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
·         UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
·         UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
·         UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
·         UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
·         UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
·         UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
·         UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
·         UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
·         UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
·         UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
·         UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
·         UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
·         UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
·         UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
·         UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
·         UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
·         Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM  No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

2.2 Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan
a. Pengertian Pajak
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak untuk membiayai pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Disini Negara memerlukan danan untuk kepentingan rakyat. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Sebagaimana dinyatak dalam Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut haruslah berdsarkan undang-undang. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasrkan undang-undang dengan tiada mendapat jasa-timbal, yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat.
Dari banyaknya definisi para ahli, dapat diambil beberapa cirri atau karakteristik dari pajak, yaitu sebagai berikut:

a.       Pajak dipungut berdasar undang-undang atau peraturn pelaksanaannya.
b.      Terhadap pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi langsung.
c.       Pemungutannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, oleh karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah.
d.      Hasil dari uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya digunakan untuk public investment.
e.       Disamping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yaitu mengatur.
b. Pengertian Retribusi
Retribusi agak berbeda dengan pajak.Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung.Pembayar retribusi justru menginginkan adanya jasa timbale balik langsung dari pemerintah.Contohnya, pembayaran air minum pada PAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang kuliah, dan sebagainya.Pengenaan retribusi berlaku umum dan dapat dipaksakan.Misalnya retribusi terhadap listrik, apabila rakyat tidak membayar retribusi listrik, maka aka nada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai pemaksaan seperti pengenaan denda, pemutusan hubungan sementara, dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:
a.       Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
b.      Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.
c.       Uang hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang bersangkutan.
d.      Pelaksanaannya dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

c. Pengertian Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam sumbangan itu terkandung pemikiran bahwa  biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya sebagian penduduk saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Sumbangan memang hampir sama dengan retribusi, tapi keduanya memiliki perbedaan. Pada retribusi dapat ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan kontraprestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan, yang mendapat kontraprestasi ini hanya satu golongan.

Apabila dikaitkan dengan pajak dan retribusi, maka sumbangan memiliki karakteristik tertentu, antara lain:

a.       Sumbangan dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan mengikat umum
b.      Dalam sumbangan, kontraprestasi diperoleh bukan karena membayarnya secara individual melainkan secara kelompok.
c.       Pelaksanaannya dapat dipaksakan, tetapi tidak bersifat ekonomis seperti halnya retribusi, melainkan hanya bersifat yuridis.
Unsur paksaan di dalam pajak lebih kuat dibandingkan pada sumbangan.Dengan demikian, bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dikenakan sumbangan itu, dan bagi yang tidak mau memenuhinya (melanggar) dapat dikenakan akibat-akibat hokum tertentu.Sedangkan paksaan retribusi yang bersifat ekonomis pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayarnya maupun tidak. Misal: seseorang bebas mengikuti kuliah pada suatu universitas, tetapi jika ia aka berbuat demikian, ia harus membayar uang kuliahnya. Jika ia tidak mau membayar, maka a tidak akan diperbolehkan untuk masuk mengikuti kuliah.

2.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
Berikut ini adalah fungsi dan peranan pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 1. Fungsi Stabilitas
Pajak memberi kesempatan pada pemerintah untuk dapat menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dapat mengendalikan laju inflasi. Fungsi stabilitas ini dapat berjalan dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, dan penggunaan pajak seefisien mungkin.

2. Fungsi Budgeeter ( Anggaran )
 Dalam fungsi budgeter, pajak menjalankan fungsinya untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran yang bersifat rutin maupun pembangunan, seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan dan lain- lain.

 3. Fungsi Retribusi Pendapatan
Pajak dipungut untuk digunakan membiayai semua kepentingan umum.Salah satunya adalah untuk peningkatan lapangan kerja yang bermanfaat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat luas.

4. Fungsi Regulatif ( Mengatur )
Melalui kebijaksanan pajak, pemerintah memiliki peluang yang lebih baik untuk mengatur pertumbuhan ekonomi.Disini pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan, seperti kebijakan pengurangan pajak dalam hal penanaman modal.


2.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Pada umumnya, hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal tersebut dapat dimengerti, karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara penguasa/Pemerintah dalam fungsinya selaku fiscus (pemungut pajak) dengan rakyat dalam kaptasitasnya sebagal wajib pajak. Hukum pajak merupakan bagian dan hukum administrasi negara karena itu sekarang ada yang menghendaki agar hukum pajak itu bisa berdiri sendiri. Kenyataannya sampai saat ini hukum pajak sudah berdiri sendiri di samping hukum administrasi negara, karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum administtasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian Negara. Selain itu, umumnya hukum pajak juga mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersenditi untuk lapangan pekerjaannya. Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini mungkin sekali timbul karena banyak d pergunaknya istilah-itilah hukum perdata dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.


2.5 Syarat-Syarat Undang-Undang Pajak bagi Suatu Negara
a.      Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat keadilan dapat dibagi menjadi:
1. Keadilan Horizontal, Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama
2. Keadilan Vertikal, Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.

b.      Syarat Yuridis
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak berdasarkan UU .

c.       Syarat Ekonomis
Pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak boleh mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.

d.       Syarat Finansial
Di mana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.