Mungkin hanya terlalu berharap, indahnya mungkin hanya di awal...
Mungkin hanya ke-pede-an, tpi memang seharusnya, kita sudahi saja drama yg ada, gak saatnya untuk galau karena perasaan...
Saatnya mengisi waktu yang ada dengan perbaikan diri
Suatu saat nanti kamu bakalan liat aku dengan kondisi yang lebih baik
Cukup udh,,,
Untaian Kata
Rabu, 23 Desember 2015
Rabu, 05 Juni 2013
PEMUNGUTAN PAJAK
2.1 Dasar Teori Pemungutan Pajak
- Teori Asuransi
Teori ansuransi diartikan dengan suatu
kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh Negara. Negara disamakan
dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga Negara membayar
pajak sebagai premi. Teori ansuransi ini hanya member landasan saja, karena pada
dasarnya teori ini tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak.
- Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai Negara
yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga Negara dengan
memerhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh
penduduknya. Pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu
yang diperoleh dari pekerjaaan Negara, semakin banyak individu mengenyam atau
menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
- Teori Gaya Pikul
Teori ini adalah asas keadilan yang setiap
orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. mengemukakan bahwa pemungutan
pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak
(individu-individu), perlu diperhatikan antara besaranya penghasilan atau
kekayaan dengan pengeluaran belanja si wajib pajak tersebut. Teori gaya pikul
ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih menekankan pada unsur
kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
Gaya pikul adalah kemampuan wajib pajak
memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Gaya pikul mengandung dua
unsur yaitu:
a.
Unsur subyektif ini mencakup segala kebutuhan terutama
material di samping moral dan spiritual. Dengan demikian pajak subyektif harus
memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup minimum dan memperhatikan
faktor-faktor perseorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar
kecilnya biaya hidup, seperti jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.
b.
Unsur obyektif ini terdiri dari pendapatan
(penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran).
- Teori Daya Beli
Teori yang menekankan bahwa pembayaran
pajak yang dilakukan kepada Negara dimaksudkaan untuk memelihara masyarakat
dalam Negara yang bersangkutan. Fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli
dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian memelihara
hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
- Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi Negara
(organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai
suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu maka timbul hak mutlak
Negara untuk memungut pajak. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada Negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara merupakan
bakti dari masyarakat kepada Negara, karena negaralah yang bertugas
menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
2.2 Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara
pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan
kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh.
Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh
suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya
tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan
pajak.
- Asas Tempat Tinggal
Merupakan asas pemungutan pajak
berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang, tanpa memerhatikan apakah
orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga Negara asing.
2. Asas Kebangsaan
Merupakan asas pemungutan pajak yang
didasarkan pada kebangsaan suatu Negara. Suatu Negara akan memungut pajak
kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas Negara yang bersangkutan
sekalipun orang tersebut tidak tinggal di Negara yang bersangkutan.
- Asas Sumber
Merupakan asas pemungutan pajak yang
didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber
penghasilan berada di suatu Negara maka Negara tersebut berhak memungut pajak
kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber
penghasilan tersebut berada.
2.3 Stelsel Pemungutan Pajak
Menurut teori, ada tiga cara
pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu stelsel fiksi, stelsel riil, dan
kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil.
a.
Stelsel
Fiksi (Pengenaan di Depan)
Pengenaan
di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu
anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama
dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang
sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya
,menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan
adanya anggapan yang demikian, fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya
utang pajak pada tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya
angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu
sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.
b.
Stelsel
Riil (Pengenaan di Belakang)
Pengenaan
di belakang merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau
nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya pajak yang
diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui akhir tahun, maka pengenaan baru
dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dalam UU PPh, pengenaan pajak
cara di belakang diketahui dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 29, yang
selengkapnya menyatakan: Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalm Pasal 28
ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
c.
Kombinasi
Stelsel Fiksi dan Stelsel Riil (Pengenaan Cara Campuran)
Pengenaan
cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua
cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan
mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU, yang
selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak
berdasrkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prisipnya mendasarkan
pengenaan pajak dengan cara campuran ini. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU
PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang.
Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses
pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh
pemerintah.
2.4 Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis
pajak dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu menurut sifatnya, objeknya,
dan lembaga pemungutannya.
a.
Menurut
Sifatnya
Terbagi menjadi 2
yaitu, pajak langsung dan tidak langsung.
-
Pajak Langsung adalah pajak-pajak yang
bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan
kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu
tertentu, misalnya PPh.
-
Pajak tidak langsung adalah pajak yang
bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan
Nilai.
b.
Menurut
Sasaran/Objeknya
Terbagi menjadi dua
yaitu, pajak subjektif dan pajak objektif.
-
Pajak subjektif adalah jenis pajak yang
dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak
(subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjenya barulah diperhatikan keadaan
objeknya sesuai gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya
PPh.
-
Pajak Objektif adalah jenis pajak yang
dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan /melihat objeknya, baik berupa
keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar
pajak. Setelah itu, baru dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hokum dengan
objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
c.
Menurut
Lembaga Pemungutannya
Pajak
dapat dibagi menjadi dua yaitu, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
(pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).
1.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutannya dikumpulkan
dan dmasukkan sebagai bagian dari APBN. Jenis pajak pusat adalah PPh, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan,
Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.
Pajak daerah adalah jenis pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan
oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan
dimasukkan sebagai bagian dari APBD. Sesuai UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dipenda adalah :
-
Pajak Daerah Tk. I :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
-
Pajak Daerah Tk. II:
a. Pajak Hotel dan Restaurant
b. Pajak Hiburan
c. Pajak Reklame
d. Pajak Penerangan Jalan
e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan
Selain itu ada juga tiga jenis
retribusi yaitu, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi
Perizinan Tertentu.
2.5
Sistem
Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak dilakukan dengan empat cara :
1. Official Assessment System
Sistem ini dilaksanakan sampai pada tahun 1967. Pada sistem ini wewenang
pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiscus memiliki hak untuk menentukan besarnya
utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan
pajak, sebagai bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi Wajib Pajak (WP)
bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya. Sistem
ini menguntungkan pihak fiscus yang menyalahgunakan kewenangannya untuk mencari
kesempatan dalam kesempitan misalnya dalam proses negosiasi penetapan atau
perhitungan besarnya pajak seringkali muncul tawar menawar antara fiscus dan
WP. Hal ini dimungkinkan juga karena pada sistem ini petugas pajaklah yang
mendatangi masyarakat untuk mendaftar warga masyarakat sebagai WP.
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung
pada aparat perpajakan, yang berakibat kurangnya kesadaran atau tanggung jawab
dari WP dalam memikul beban negara yang pada hakekatnya adalah untuk kepentingannya
sendiri dalam bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan;
2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.
2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.
3. Full self assessment system
Sistem ini berlaku efektif pada tahun 1984 atas dasar
perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983. Pada sistem ini WP
menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan sehingga
WP harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang tanpa
campur tangan dari fiscus. Penerapan sistem ini untuk memberikan kepercayaan
yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran dan
peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya
PERPAJAKAN
2.1 Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti ( pemberian
secara cuma- cuma ), tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat
dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat ( masyarakat). Pada saat itu
pajak digunakan untuk kepentingan/keperluan raja atau penguasa setempat dan
tanpa imbalan/ prestasi yang dikembalikan kepada rakyat.Namun dalam
perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk
kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu
sendiri.Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu
aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti
(pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi
keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam
pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk
kepentingan rakyat itu sendiri.
Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk
suatu negara dan dengan dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak
melatarbelakangi dibuatnya suatu ketentuan berupa UU yang mengatur tentang tata
cara pemungutan pajak, serta besarnya pajak yang harus dibayar. Di Indonesia,
sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi
Pajak Rumah Tangga;
2. Aturan
Bea Meterai;
3. Ordonansi
Bea Balik Nama;
4. Ordonansi
Pajak Kekayaan;
5. Ordonansi
Pajak Kendaraan Bermotor;
6. Ordonansi
Pajak Upah;
7. Ordonansi
Pajak Potong;
8. Ordonansi
Pajak Pendapatan;
9. Undang-undang
Pajak Radio;
10. Undang-undang
Pajak Pembangunan I;
11. Undang-undang
Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
·
UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang
diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
·
UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak
Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas
Bunga, Dividen, dan Royalti;
·
UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan
Pajak Negara dengan Surat Paksa;
·
UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak
Bangsa Asing;
·
UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara
Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau
Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan
mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.Selain itu,
beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi
rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
·
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
·
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh);
·
UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan
PPnBM;
·
UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih
menggunakan official assessment);
·
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
(BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan
undang-undang, yaitu:
·
UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
9 Tahun 1994;
·
UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
10 Tahun 1994;
·
UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
11 Tahun 1994;
·
UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU
No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang
berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah
ada, yaitu:
·
UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
·
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah;
·
UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa;
·
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak;
·
UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus
menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak,
maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan,
yaitu:
·
UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
·
UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
·
UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan
PPnBM;
·
UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
·
UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
·
UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
·
Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun
2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun
2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru
ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun
2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku
mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu
lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai
penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal
37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.
2.2 Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan
a. Pengertian Pajak
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak
untuk membiayai pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami
terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Disini Negara memerlukan
danan untuk kepentingan rakyat. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat
dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak.
Sebagaimana dinyatak dalam Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap
pajak yang akan dipungut haruslah berdsarkan undang-undang. Disini kita dapat
menyimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasrkan
undang-undang dengan tiada mendapat jasa-timbal, yang langsung dapat ditujukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang hasilnya akan
dikembalikan kepada masyarakat.
Dari banyaknya definisi para ahli, dapat diambil
beberapa cirri atau karakteristik dari pajak, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak
dipungut berdasar undang-undang atau peraturn pelaksanaannya.
b. Terhadap
pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi langsung.
c. Pemungutannya
dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, oleh karena itu ada
istilah pajak pusat dan pajak daerah.
d. Hasil
dari uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat
kelebihan maka sisanya digunakan untuk public investment.
e. Disamping
mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas
negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yaitu
mengatur.
b. Pengertian Retribusi
Retribusi agak berbeda dengan pajak.Dalam retribusi,
hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan
kontraprestasi itu bersifat langsung.Pembayar retribusi justru menginginkan
adanya jasa timbale balik langsung dari pemerintah.Contohnya, pembayaran air
minum pada PAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang kuliah, dan
sebagainya.Pengenaan retribusi berlaku umum dan dapat dipaksakan.Misalnya
retribusi terhadap listrik, apabila rakyat tidak membayar retribusi listrik,
maka aka nada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai pemaksaan
seperti pengenaan denda, pemutusan hubungan sementara, dan sebagainya.
Berdasarkan hal
tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:
a. Retribusi
dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
b. Dalam
retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan
mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.
c. Uang
hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang
bersangkutan.
d. Pelaksanaannya
dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
c. Pengertian Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam sumbangan itu
terkandung pemikiran bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan
dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya,
melainkan hanya sebagian penduduk saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan
tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini.
Sumbangan memang hampir sama dengan retribusi, tapi keduanya memiliki
perbedaan. Pada retribusi dapat ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan
kontraprestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan, yang mendapat
kontraprestasi ini hanya satu golongan.
Apabila dikaitkan dengan pajak dan retribusi, maka
sumbangan memiliki karakteristik tertentu, antara lain:
a. Sumbangan
dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan mengikat umum
b. Dalam
sumbangan, kontraprestasi diperoleh bukan karena membayarnya secara individual
melainkan secara kelompok.
c. Pelaksanaannya
dapat dipaksakan, tetapi tidak bersifat ekonomis seperti halnya retribusi,
melainkan hanya bersifat yuridis.
Unsur paksaan di dalam pajak lebih kuat dibandingkan
pada sumbangan.Dengan demikian, bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dikenakan
sumbangan itu, dan bagi yang tidak mau memenuhinya (melanggar) dapat dikenakan
akibat-akibat hokum tertentu.Sedangkan paksaan retribusi yang bersifat ekonomis
pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayarnya
maupun tidak. Misal: seseorang bebas mengikuti kuliah pada suatu universitas,
tetapi jika ia aka berbuat demikian, ia harus membayar uang kuliahnya. Jika ia
tidak mau membayar, maka a tidak akan diperbolehkan untuk masuk mengikuti
kuliah.
2.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
Berikut ini adalah fungsi dan peranan pajak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Fungsi
Stabilitas
Pajak memberi kesempatan pada pemerintah untuk dapat
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dapat mengendalikan
laju inflasi. Fungsi stabilitas ini dapat berjalan dengan cara mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, dan penggunaan pajak seefisien
mungkin.
2. Fungsi Budgeeter ( Anggaran )
Dalam fungsi
budgeter, pajak menjalankan fungsinya untuk membiayai pengeluaran negara, baik
pengeluaran yang bersifat rutin maupun pembangunan, seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan dan lain- lain.
3. Fungsi
Retribusi Pendapatan
Pajak dipungut untuk digunakan membiayai semua
kepentingan umum.Salah satunya adalah untuk peningkatan lapangan kerja yang
bermanfaat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
4. Fungsi Regulatif ( Mengatur )
Melalui kebijaksanan pajak, pemerintah memiliki
peluang yang lebih baik untuk mengatur pertumbuhan ekonomi.Disini pajak dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan, seperti kebijakan
pengurangan pajak dalam hal penanaman modal.
2.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Pada umumnya, hukum pajak dimasukkan sebagai bagian
dan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya.
Hal tersebut dapat dimengerti, karena di dalam hukum pajak diatur mengenai
hubungan antara penguasa/Pemerintah dalam fungsinya selaku fiscus (pemungut
pajak) dengan rakyat dalam kaptasitasnya sebagal wajib pajak. Hukum pajak
merupakan bagian dan hukum administrasi negara karena itu sekarang ada yang
menghendaki agar hukum pajak itu bisa berdiri sendiri. Kenyataannya sampai saat
ini hukum pajak sudah berdiri sendiri di samping hukum administrasi negara,
karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum
administtasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian Negara. Selain itu, umumnya hukum
pajak juga mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersenditi untuk lapangan
pekerjaannya. Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak
mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan.
Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya
atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang
bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian,
penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan
sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini
mungkin sekali timbul karena banyak d pergunaknya istilah-itilah hukum perdata
dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian yang dianut
oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.
2.5 Syarat-Syarat Undang-Undang Pajak bagi
Suatu Negara
a.
Syarat
Keadilan
Syarat
pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to
pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat
keadilan dapat dibagi menjadi:
1.
Keadilan Horizontal, Wajib Pajak yang
mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama
2.
Keadilan Vertikal, Wajib Pajak yang
mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang
tidak sama.
b.
Syarat
Yuridis
Pembayaran
pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak berdasarkan UU .
c.
Syarat
Ekonomis
Pungutan
pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak boleh mengganggu
kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.
d.
Syarat Finansial
Di
mana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya
pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.
Langganan:
Postingan (Atom)