Rabu, 05 Juni 2013

PERPAJAKAN



2.1 Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti ( pemberian secara cuma- cuma ), tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat ( masyarakat). Pada saat itu pajak digunakan untuk kepentingan/keperluan raja atau penguasa setempat dan tanpa imbalan/ prestasi yang dikembalikan kepada rakyat.Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu sendiri.Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk suatu negara dan dengan dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak melatarbelakangi dibuatnya suatu ketentuan berupa UU yang mengatur tentang tata cara pemungutan pajak, serta besarnya pajak yang harus dibayar. Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.      Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
2.      Aturan Bea Meterai;
3.      Ordonansi Bea Balik Nama;
4.      Ordonansi Pajak Kekayaan;
5.      Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
6.      Ordonansi Pajak Upah;
7.      Ordonansi Pajak Potong;
8.      Ordonansi Pajak Pendapatan;
9.      Undang-undang Pajak Radio;
10.  Undang-undang Pajak Pembangunan I;
11.  Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
·         UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
·         UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
·         UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
·         UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
·         UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs     atau Tata Cara MPS-MPO.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
·         UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
·         UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
·         UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
·         UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
·         UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
·         UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
·         UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
·         UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
·         UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
·         UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
·         UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
·         UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
·         UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
·         UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
·         UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
·         UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
·         UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
·         UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
·         UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
·         UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
·         Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM  No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

2.2 Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan
a. Pengertian Pajak
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak untuk membiayai pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Disini Negara memerlukan danan untuk kepentingan rakyat. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Sebagaimana dinyatak dalam Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut haruslah berdsarkan undang-undang. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasrkan undang-undang dengan tiada mendapat jasa-timbal, yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat.
Dari banyaknya definisi para ahli, dapat diambil beberapa cirri atau karakteristik dari pajak, yaitu sebagai berikut:

a.       Pajak dipungut berdasar undang-undang atau peraturn pelaksanaannya.
b.      Terhadap pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi langsung.
c.       Pemungutannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, oleh karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah.
d.      Hasil dari uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya digunakan untuk public investment.
e.       Disamping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yaitu mengatur.
b. Pengertian Retribusi
Retribusi agak berbeda dengan pajak.Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung.Pembayar retribusi justru menginginkan adanya jasa timbale balik langsung dari pemerintah.Contohnya, pembayaran air minum pada PAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang kuliah, dan sebagainya.Pengenaan retribusi berlaku umum dan dapat dipaksakan.Misalnya retribusi terhadap listrik, apabila rakyat tidak membayar retribusi listrik, maka aka nada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai pemaksaan seperti pengenaan denda, pemutusan hubungan sementara, dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:
a.       Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
b.      Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.
c.       Uang hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang bersangkutan.
d.      Pelaksanaannya dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

c. Pengertian Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam sumbangan itu terkandung pemikiran bahwa  biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya sebagian penduduk saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Sumbangan memang hampir sama dengan retribusi, tapi keduanya memiliki perbedaan. Pada retribusi dapat ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan kontraprestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan, yang mendapat kontraprestasi ini hanya satu golongan.

Apabila dikaitkan dengan pajak dan retribusi, maka sumbangan memiliki karakteristik tertentu, antara lain:

a.       Sumbangan dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan mengikat umum
b.      Dalam sumbangan, kontraprestasi diperoleh bukan karena membayarnya secara individual melainkan secara kelompok.
c.       Pelaksanaannya dapat dipaksakan, tetapi tidak bersifat ekonomis seperti halnya retribusi, melainkan hanya bersifat yuridis.
Unsur paksaan di dalam pajak lebih kuat dibandingkan pada sumbangan.Dengan demikian, bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dikenakan sumbangan itu, dan bagi yang tidak mau memenuhinya (melanggar) dapat dikenakan akibat-akibat hokum tertentu.Sedangkan paksaan retribusi yang bersifat ekonomis pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayarnya maupun tidak. Misal: seseorang bebas mengikuti kuliah pada suatu universitas, tetapi jika ia aka berbuat demikian, ia harus membayar uang kuliahnya. Jika ia tidak mau membayar, maka a tidak akan diperbolehkan untuk masuk mengikuti kuliah.

2.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
Berikut ini adalah fungsi dan peranan pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 1. Fungsi Stabilitas
Pajak memberi kesempatan pada pemerintah untuk dapat menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dapat mengendalikan laju inflasi. Fungsi stabilitas ini dapat berjalan dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, dan penggunaan pajak seefisien mungkin.

2. Fungsi Budgeeter ( Anggaran )
 Dalam fungsi budgeter, pajak menjalankan fungsinya untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran yang bersifat rutin maupun pembangunan, seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan dan lain- lain.

 3. Fungsi Retribusi Pendapatan
Pajak dipungut untuk digunakan membiayai semua kepentingan umum.Salah satunya adalah untuk peningkatan lapangan kerja yang bermanfaat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat luas.

4. Fungsi Regulatif ( Mengatur )
Melalui kebijaksanan pajak, pemerintah memiliki peluang yang lebih baik untuk mengatur pertumbuhan ekonomi.Disini pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan, seperti kebijakan pengurangan pajak dalam hal penanaman modal.


2.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Pada umumnya, hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal tersebut dapat dimengerti, karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara penguasa/Pemerintah dalam fungsinya selaku fiscus (pemungut pajak) dengan rakyat dalam kaptasitasnya sebagal wajib pajak. Hukum pajak merupakan bagian dan hukum administrasi negara karena itu sekarang ada yang menghendaki agar hukum pajak itu bisa berdiri sendiri. Kenyataannya sampai saat ini hukum pajak sudah berdiri sendiri di samping hukum administrasi negara, karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum administtasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian Negara. Selain itu, umumnya hukum pajak juga mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersenditi untuk lapangan pekerjaannya. Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini mungkin sekali timbul karena banyak d pergunaknya istilah-itilah hukum perdata dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.


2.5 Syarat-Syarat Undang-Undang Pajak bagi Suatu Negara
a.      Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat keadilan dapat dibagi menjadi:
1. Keadilan Horizontal, Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama
2. Keadilan Vertikal, Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.

b.      Syarat Yuridis
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak berdasarkan UU .

c.       Syarat Ekonomis
Pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak boleh mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.

d.       Syarat Finansial
Di mana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.

1 komentar: