2.1 Sejarah Perpajakan
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti ( pemberian
secara cuma- cuma ), tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat
dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat ( masyarakat). Pada saat itu
pajak digunakan untuk kepentingan/keperluan raja atau penguasa setempat dan
tanpa imbalan/ prestasi yang dikembalikan kepada rakyat.Namun dalam
perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk
kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu
sendiri.Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu
aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti
(pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi
keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam
pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk
kepentingan rakyat itu sendiri.
Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk
suatu negara dan dengan dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak
melatarbelakangi dibuatnya suatu ketentuan berupa UU yang mengatur tentang tata
cara pemungutan pajak, serta besarnya pajak yang harus dibayar. Di Indonesia,
sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi
Pajak Rumah Tangga;
2. Aturan
Bea Meterai;
3. Ordonansi
Bea Balik Nama;
4. Ordonansi
Pajak Kekayaan;
5. Ordonansi
Pajak Kendaraan Bermotor;
6. Ordonansi
Pajak Upah;
7. Ordonansi
Pajak Potong;
8. Ordonansi
Pajak Pendapatan;
9. Undang-undang
Pajak Radio;
10. Undang-undang
Pajak Pembangunan I;
11. Undang-undang
Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
·
UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang
diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
·
UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak
Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas
Bunga, Dividen, dan Royalti;
·
UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan
Pajak Negara dengan Surat Paksa;
·
UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak
Bangsa Asing;
·
UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara
Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau
Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan
mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.Selain itu,
beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi
rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
·
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
·
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh);
·
UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan
PPnBM;
·
UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih
menggunakan official assessment);
·
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
(BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan
undang-undang, yaitu:
·
UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
9 Tahun 1994;
·
UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
10 Tahun 1994;
·
UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No.
11 Tahun 1994;
·
UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU
No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang
berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah
ada, yaitu:
·
UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
·
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah;
·
UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa;
·
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak;
·
UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus
menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak,
maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan,
yaitu:
·
UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
·
UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
·
UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan
PPnBM;
·
UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
·
UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
·
UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
·
Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun
2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun
2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru
ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun
2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku
mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu
lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai
penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal
37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.
2.2 Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan
a. Pengertian Pajak
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak
untuk membiayai pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami
terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Disini Negara memerlukan
danan untuk kepentingan rakyat. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat
dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak.
Sebagaimana dinyatak dalam Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap
pajak yang akan dipungut haruslah berdsarkan undang-undang. Disini kita dapat
menyimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasrkan
undang-undang dengan tiada mendapat jasa-timbal, yang langsung dapat ditujukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang hasilnya akan
dikembalikan kepada masyarakat.
Dari banyaknya definisi para ahli, dapat diambil
beberapa cirri atau karakteristik dari pajak, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak
dipungut berdasar undang-undang atau peraturn pelaksanaannya.
b. Terhadap
pembayaran pajak, tidak ada kontraprestasi langsung.
c. Pemungutannya
dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, oleh karena itu ada
istilah pajak pusat dan pajak daerah.
d. Hasil
dari uang pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat
kelebihan maka sisanya digunakan untuk public investment.
e. Disamping
mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas
negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yaitu
mengatur.
b. Pengertian Retribusi
Retribusi agak berbeda dengan pajak.Dalam retribusi,
hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan
kontraprestasi itu bersifat langsung.Pembayar retribusi justru menginginkan
adanya jasa timbale balik langsung dari pemerintah.Contohnya, pembayaran air
minum pada PAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang kuliah, dan
sebagainya.Pengenaan retribusi berlaku umum dan dapat dipaksakan.Misalnya
retribusi terhadap listrik, apabila rakyat tidak membayar retribusi listrik,
maka aka nada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai pemaksaan
seperti pengenaan denda, pemutusan hubungan sementara, dan sebagainya.
Berdasarkan hal
tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:
a. Retribusi
dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
b. Dalam
retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan
mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.
c. Uang
hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang
bersangkutan.
d. Pelaksanaannya
dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
c. Pengertian Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam sumbangan itu
terkandung pemikiran bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan
dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya,
melainkan hanya sebagian penduduk saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan
tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini.
Sumbangan memang hampir sama dengan retribusi, tapi keduanya memiliki
perbedaan. Pada retribusi dapat ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan
kontraprestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan, yang mendapat
kontraprestasi ini hanya satu golongan.
Apabila dikaitkan dengan pajak dan retribusi, maka
sumbangan memiliki karakteristik tertentu, antara lain:
a. Sumbangan
dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan mengikat umum
b. Dalam
sumbangan, kontraprestasi diperoleh bukan karena membayarnya secara individual
melainkan secara kelompok.
c. Pelaksanaannya
dapat dipaksakan, tetapi tidak bersifat ekonomis seperti halnya retribusi,
melainkan hanya bersifat yuridis.
Unsur paksaan di dalam pajak lebih kuat dibandingkan
pada sumbangan.Dengan demikian, bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dikenakan
sumbangan itu, dan bagi yang tidak mau memenuhinya (melanggar) dapat dikenakan
akibat-akibat hokum tertentu.Sedangkan paksaan retribusi yang bersifat ekonomis
pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayarnya
maupun tidak. Misal: seseorang bebas mengikuti kuliah pada suatu universitas,
tetapi jika ia aka berbuat demikian, ia harus membayar uang kuliahnya. Jika ia
tidak mau membayar, maka a tidak akan diperbolehkan untuk masuk mengikuti
kuliah.
2.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
Berikut ini adalah fungsi dan peranan pajak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Fungsi
Stabilitas
Pajak memberi kesempatan pada pemerintah untuk dapat
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dapat mengendalikan
laju inflasi. Fungsi stabilitas ini dapat berjalan dengan cara mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, dan penggunaan pajak seefisien
mungkin.
2. Fungsi Budgeeter ( Anggaran )
Dalam fungsi
budgeter, pajak menjalankan fungsinya untuk membiayai pengeluaran negara, baik
pengeluaran yang bersifat rutin maupun pembangunan, seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan dan lain- lain.
3. Fungsi
Retribusi Pendapatan
Pajak dipungut untuk digunakan membiayai semua
kepentingan umum.Salah satunya adalah untuk peningkatan lapangan kerja yang
bermanfaat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
4. Fungsi Regulatif ( Mengatur )
Melalui kebijaksanan pajak, pemerintah memiliki
peluang yang lebih baik untuk mengatur pertumbuhan ekonomi.Disini pajak dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan, seperti kebijakan
pengurangan pajak dalam hal penanaman modal.
2.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Pada umumnya, hukum pajak dimasukkan sebagai bagian
dan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya.
Hal tersebut dapat dimengerti, karena di dalam hukum pajak diatur mengenai
hubungan antara penguasa/Pemerintah dalam fungsinya selaku fiscus (pemungut
pajak) dengan rakyat dalam kaptasitasnya sebagal wajib pajak. Hukum pajak
merupakan bagian dan hukum administrasi negara karena itu sekarang ada yang
menghendaki agar hukum pajak itu bisa berdiri sendiri. Kenyataannya sampai saat
ini hukum pajak sudah berdiri sendiri di samping hukum administrasi negara,
karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum
administtasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian Negara. Selain itu, umumnya hukum
pajak juga mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersenditi untuk lapangan
pekerjaannya. Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak
mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan.
Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya
atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang
bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian,
penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan
sebagainya.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini
mungkin sekali timbul karena banyak d pergunaknya istilah-itilah hukum perdata
dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian yang dianut
oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.
2.5 Syarat-Syarat Undang-Undang Pajak bagi
Suatu Negara
a.
Syarat
Keadilan
Syarat
pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to
pay) pajak tersebut, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Syarat
keadilan dapat dibagi menjadi:
1.
Keadilan Horizontal, Wajib Pajak yang
mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama
2.
Keadilan Vertikal, Wajib Pajak yang
mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang
tidak sama.
b.
Syarat
Yuridis
Pembayaran
pajak harus seimbang dengan kekuatan membayar wajib pajak berdasarkan UU .
c.
Syarat
Ekonomis
Pungutan
pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan tidak boleh mengganggu
kehidupan ekonomis dari si wajib pajak.
d.
Syarat Finansial
Di
mana pajak yang dipungut cukup untuk pengeluaran Negara dan hendaknya
pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar.
thanks for info :P
BalasHapus