SAPTA PESONA SOLUSI
DAMPAK NEGATIF PENGEMBANGAN
BALI
TURTLE ISLAND DEVELOPMENT
(BTID)
DI PULAU SERANGAN
Diusulkan oleh:
Ketua
: Ni Putu Budiadnyani NIM 1106305019 (2011)
Anggota : Agustina Anggreni NIM
1106305081 (2011)
Ni Kadek Budi Sandraningsih NIM 1106105027 (2011)
Ni Putu Dewi Listiasih NIM 1106205026
(2011)
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS
UDAYANA
DENPASAR
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena atas asungkerta wara nugraha-Nya lah kami dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini dengan tepat waktu.
Dalam penyusunan karya tulis ini, kami banyak
mendapatkan bantuan baik moral, material, dan spiritual dari beberapa pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkanlah kami menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami.
Kami sangat menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan kami dalam membuat karya tulis ini masih jauh dari
tingkat kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritikan dan saran yang bersifat
kontruktif sangat kami harapkan. Besar harapan kami semoga karya tulis ini
memberikan manfaat bagi pembaca.
Demikian pengantar dari kami,
apabila dalam karya tulis ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Denpasar, 7 Juni 2012
Penulis
ABSTRAKSI
Secara
geografis, Desa Serangan terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
Luas sebelum reklamasi (luas asli) 111,9 ha yang dulu terdiri dari 6,456 ha
lahan pemukiman, 85 ha tegalan dan perkebunan, dan 19 ha rawa atau hutan. Ada
enam banjar di Desa Serangan, yakni Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken,
dan Dukuh, dan Kampung Bugis.
Sejak
tahun 70-an industri pariwisata ada di Pulau Serangan, dengan turis yang datang
untuk melihat penyu. Namun, pada akhir tahun 80-an, industri pariwisata itu
berkembang ketika sekelompok investor mau membangun resort di Serangan, namanya
Bali Turtle Island Development
(BTID).
Dampak yang ditimbukan dari pembangunan
Bali Turtle Island Development di Pulau Serangan adalah
a) Dari
segi lingkungan adalah pelanggaran terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal), perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, dan kehilangan
penyu.
b) Dari
segi ekonomi adalah mengurangi pendapatan nelayan, penambang perahu
penyebrangan, café dan kios, dan penambang karang.
c) Dari
segi sosial budaya adalah pelanggaran hak manusia dalam pembebasan tanah,
gangguan kesucian pura, masalah kebudayaan dan lahan, perubahan kebudayaan dan
konflik masyarakat.
Solusi yang efektif dan efisien yang dapat dilakukan
untuk menangani dampak buruk yang terjadi adalah dengan mengembangkan sector
pariwisata di Pulau Serangan dan lebih mengembangkan konsep Sapta Pesona di
Pulau Serangan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali
merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sangat terkenal di dunia. Pulau Bali
mempunyai banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi dari alamnya sampai
dengan kebudayaannya. Salah satu dari tempat yang menarik untuk dikunjungi di
Bali adalah Pulau Serangan. Serangan adalah sebuah pulau kecil yang terletak 5
km di sebelah selatan Kota Denpasar, Bali. Secara geografis, Desa Serangan
terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Luas sebelum reklamasi
(luas asli) 111,9 ha yang dulu terdiri dari 6,456 ha lahan pemukiman, 85 ha
tegalan dan perkebunan, dan 19 ha rawa atau hutan. Ada enam banjar di Desa
Serangan, yakni Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken, dan Dukuh, dan
Kampung Bugis.
Sebagian besar
penduduk Serangan mempunyai identitas sebagai orang pesisir, masyarakat yang
dibesarkan dalam kultur nelayan. Desa Serangan terdiri dari penduduk Hindu dan
Muslim. Warga muslim sudah tinggal di Pulau Serangan kebanyakannya adalah
keturunan orang Bugis Sulawesi Selatan yang datang ke pulau Bali pada abad
ke-17. Serangan memiliki lingkungan, masyarakat yang beragama, budaya dan
pariwisata yang selama bertahun-tahun memiliki nilai tambah bagi perkembangan
pariwisata Bali.
Sejak tahun 70-an industri pariwisata
ada di Pulau Serangan, dengan turis yang datang untuk melihat penyu. Namun,
pada akhir tahun 80-an, industri pariwisata itu berkembang ketika sekelompok
investor mau membangun resort di Serangan, namanya Bali Turtle Island Development (BTID). Kepemilikan BTID sekarang
kurang jelas, tetapi pada awalnya proyek dimiliki Grop Bimantara, yang dipimpin
oleh Bambang Trihatmojo, anak mantan Presiden Suharto, serta saudaranya Tommy
Suharto dan PT. Pembangunan Kartika Udayana, yang dimiliki Komando Daerah Militer
(Kodam) IX Udayana. Akan tetapi, sebelum BTID muncul sebagai pembangun, pihak
dari Kodam sudah mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Bali untuk
melakukan “Pelestarian dan Pengembangan Pariwisata di Pulau Serangan” pada
bulan Januari 1990. Sasaran proyek itu adalah “menyelamatkan kondisi fisik
Pulau Serangan dari kerusakan lebih parah, peningkatan sosial ekonomi penduduk,
pelestarian peninggalan budaya dan peningkatan apresiasi budaya”.
Dengan adanya proyek
BTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan.
Permasalahan utama merupakan kerusakan lingkungan akibat pembangunan BTID yang
telah mengakibatkan kehilangan mata pencaharian untuk kebanyakan masyarakat.
Berdasarkan fenomena
tersebut, kami tertarik untuk mengangkat topik dampak ekonomi, fisik, dan
social budaya masyarakat akibat perkembangan pariwisata dalam hal ini BTID di
kawasan Pulau Serangan. Dengan mengangkat topik ini penulis ingin membantu
mencari solusi atas dampak-dampak buruk yang diakibatkan oleh pengembangan dan
pembangunan BTID di Pulai Serangan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana dampak proyek BTID terhadap
lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Serangan?
1.2.2
Bagaimana solusi terhadap dampak negatif proyek
BTID yang terjadi di Pulau Serangan?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.4.1 Untuk
mengetahui dampak proyek BTID terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya
masyarakat Serangan.
1.4.2 Untuk
mengetahui solusi terhadap dampak negatif proyek BTID yang terjadi di Pulau
Serangan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
yang diperoleh dari penulisan ini, adalah :
1.5.1.
Bagi penulis, merupakan sarana pelatihan untuk pembuatan karya tulis ilmiah,
serta sarana untuk berpikir kritis terhadap
masalah perekonomian bangsa, sehingga mahasiswa mampu memberikan
sumbangan pikiran bagi kemajuan bangsa dan negara, khususnya yang berkaitan
dengan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya pembangunan BTID di Pulau
Serangan. Selain itu, penulis juga dapat membantu mencari solusi atas dampak
negative pembangunan BTID di Pulau Serangan.
1.5.2.
Bagi pemerintah atau pihak yang terkait, hasil penulisan ini dapat digunakan
sebagai gambaran mengenai kondisi perekonomian khususnya permasalahan pembangunan
BTID di Pulau Serangan yang merupakan masalh yang kompleks dalam perekonomian
masyarakat Bali umumnya dan Serangan pada khususnya. Diharapkan dengan tulisan
ini mampu memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah terutama pemerintah
daerah dalam mengembangkan pariwisata di Pulau Serangan, namuan tidak
menyebabkan dampak negative yang berlebihan sehingga eksistensi Pulau Serangan
dapat tetap terjaga hingga akhir nanti.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pulau Serangan
Kata Serangan disebutkan berasal dari
kata “sira” dan “angen”. Dulu, dalam pelayaran yang melelahkan dari Makassar,
para pelaut sering singgah di Serangan untuk mencari air minum. Setelah minum
di sana, mereka pun akhirnya terkena pengaruh sira angen atau orang-orang
disekitar sana menyebut merasa sayang atau kangen dengan Serangan. Sehingga,
tak sedikit dari pelaut Bugis itu memutuskan menetap di sana. Di Pulau
Serangan, satwa langka penyu sering mendarat untuk bertelur. Serangan juga
menjadi surga bagi para pemuja keindahan alam bawah laut lantaran hamparan
padang lamun yang tumbuh subur. Di sanalah “rumah” yang nyaman bagi berbagai
jenis ikan hias, ikan konsumsi, udang, kepiting dan berbagai biota laut
lainnya.
Pulau Serangan sebagai daerah dengan
potensi besar yang dipenuhi dengan aspirasi, nilai-nilai sejarah dan budaya.
Serangan yang mengekspos pulau sebagai daerah yang telah berhasil pencampuran
suasana laut, spiritualitas dan budaya dengan getaran kreatif
multikulturalisme, semangat komunitas,dan berkelanjutan. Untuk mengekspos
pesona serangan, setiap tahun dirayakan sebuah festival yang disebut Pulau
Serangan Green Festival. Bila berkunjung ke tempat ini jangan lupa untuk
mengunjungi sebuah pura yang di kenal oleh masyarakat Hindu dengan Pura
Sakenan. Nama Pura Sakenan berasal dari kata sakya yang berarti
menyatukan pikiran langsung kepada Tuhan. Tempat suci di Serangan dibangun oleh
Mpu Kuturan pada abad ke-12 dan sebagian lagi oleh Danghyang Nirartha pada abad
ke-15.
2.2 Bali Turtle Island Development (BTID)
Sejak tahun 80-an, pariwisata di pulau serangan mulai dikembangkan
denganmasuknya investor dari Grop Bimantara yang dimiliki oleh Bambang
Trihatmojoserta Tommy Soeharto dan PT. Pembangunan Kartika Udayana yang
dimiliki olehKomando Daerah Militer (KODAM) IX Udayana.Investor tersebut
berencana membangun resort di Pulau serangan dengannama Bali Turtle Island Development
(BTID). BTID merencanakan pembangunanlapangan golf, resort, villa, dan
fasilitas penunjang pariwisata lainnya di Pulau Serangan, dan pembangunan
jembatan penyebrangan yang menghubungkan antara Bali dan Serangan yang
memudahkan akses untuk industri pariwisata di Serangan. Untuk menarik minat, perhatian dan dukungan dari masyarakat serangan dan Gubernur Bali, BTID
merencanakan pembangunan pusat penelitian penyu dan bakau, pembangunan
restoran dan fasilitas penunjang kesejahteraan masyarakat Serangan seperti WC
umum dan lain sebagainya yang sebenarnya hanya menghabiskan sekitar ¼ dari
luas total pulau serangan. Dan ¾ nya inilah yang akan dimanfaatkan
untuk pembangunan resort oleh pihak BTID. Dan surat yang diajukan
oleh pihak KODAM ke Gubernur Bali saat itu adalahs urat permohonan untuk
melakukan Pelestarian dan Pengembangan Pariwisata PulauSerangan dengan tujuan
untuk menyelamatkan pulau serangan dari kerusakan yang lebih parah, dan
peningkatan kondisi social dan ekonomi masyarakat Pulau Serangan itu sendiri.
Karena itulah surat permohonan itu mendapat persetujuan dari Gubernur Bali
dan reklamasi dapat dilaksanakan.
Masyarakat baru
tahu adanya proyek selama tahap pembebasan tanah, dan rencana reklamasi hanya
muncul setelah reklamasi tersebut berjalan pada tahun 1996. Saat pra-konstruksi
memang dilakukan sosialisasi, dan penduduk Serangan dijanjikan bahwa kehidupan
mereka akan sejahtera dengan adanya proyek, dengan kesempatan pekerjaan baru,
dan fasilitas desa lengkap. Akibat sosialasi itu dengan janjian yang akan
menguntungkan masyarakat Serangan, pada dasarnya mereka setuju dengan proyek
(dilihat dalam hasil survei Andal yang menunjukkan bahwa 6,73% sangat setuju
dan 69,23% setuju). Namun, sekarang dikatakan bahwa kalau penduduk Serangan
mengetahui dampak proyek pada lingkungan dan masyarakatnya sepenuhnya pada saat
sosialisasi, mungkin mereka tidak akan setuju dengan proyek. Akan tetapi,
dikatakan situasi pada saat akhir Orde Baru itu tidak memungkinkan masyarakat
untuk melawan.
Pembebasan tanah
masyarakat dilaksanakan, BTID melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
dan pengerukan dan penimbunan mulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir
4 kali lipat. Namun, dengan adanya proyek BTID
menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan.
Permasalahan utama merupakan kehilangan mata pencaharian untuk masyarakat
akibat kerusakan lingkungan dan penimbunan yang dilakukan BTID. Akhirnya,
proyek BTID terpaksa berhenti karena kesulitan
dana akibat krisis moneter pada tahun 1998 dan sampai sekarang tidak ada investor baru, supaya lahan BTID ‘kosong’.
2.3
Sapta Pesona
Sapta
Pesona merupakan kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat
wisatawan berkunjung ke suatu daerah atau wilayah di negara kita. Kita harus
menciptakan suasana indah mempesona dimana saja dan kapan saja. Khususnya
ditempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan dan pada waktu melayani
wisatawan. Dengan kondisi dan suasanan yang menarik dan nyaman, wisatawan akan
betah tinggal lebih lama, merasa puas atas kunjungannya dan memberikan kenangan
yang indah dalam hidupnya.
Tujuan diselenggarakan program Sapta
Pesona adalah untuk meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab segenap lapisan
masyarakat, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat luas untuk mampu bertindak
dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Logo Sapta Pesona ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.5/UM.209/MPPT-89 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona.
Logo Sapta Pesona ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.5/UM.209/MPPT-89 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona.
Logo Sapta Pesona dilambangkan dengan
Matahari yang bersinar sebanyak 7 buah yang terdiri atas unsur:
1.
Keamanan
2.
Ketertiban
3.
Kebersihan
4.
Kesejukan
5.
Keindahan
6.
Keramahan
7.
Kenangan
Uraian makna program Sapta Pesona
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam program-program pembangunan
kepariwisataan sebagai sektor andalan devisa Nasional:
- AMAN
a. Suatu kondisi lingkungan destinasi wisata yang memberi
rasa tenang, bebas dari rasa takut dan kecemasan wisatawan.
b. Daerah tujuan wisata dengan lingkungan yang membuat
nyaman wisatawan dalam melakukan kunjungan.
c. Menolong, melindungi, menjaga, memelihara, memberi dan
meminimalkan resiko buruk bagi wisatawan yang berkunjung.
- TERTIB
a. Destinasi yang mencerminkan sikap disiplin, teratur dan
profeional, sehingga memberi kenyamanan kunjungan wisatawan.
b. Ikut serta memelihara lingkungan
c. Mewujudkan Budaya Antri
d. Taat aturan/ tepat waktu
e. Teratur, rapi dan lancar
- BERSIH
a. Layanan destinasi yang mencerminkan keadaan bersih, sehat
hingga memberi rasa nyaman bagi kunjungan wisatawan
b. Berpikiran positif pangkal hidup bersih.
c. Tidak asal buang sampah/ limbah
d. Menjaga kebersihan Obyek Wisata
e. Menjaga lingkungan yang bebas polusi
f. Menyiapkan makanan yang higienis
g. Berpakaian yang bersih dan rapi
- SEJUK
a.
Destinasi
wisata yang sejuk dan teduh akan memberikan perasaan nyaman dan betah bagi
kunjungan wisatawan.
b.
Menanam pohon
dan penghijauan
c.
Memelihara
penghijauan di lingkungan tempat tinggal terutama jalur wisata
d.
Menjaga kondisi
sejuk di area publik,restoran, penginapan dan sarana fasilitas wisata lain
- INDAH
a. Destinasi wisata yang mencerminkan keadaan indah menarik
yang memberi rasa kagum dan kesan mendalam wisatawan.
b. Menjaga keindahan obyek dan daya tarik wisata dalam
tatanan harmonis yang alami
c. Lingkungan tempat tinggal yang teratur, tertib dan serasi
dengan karakter serta istiadat lokal
d. Keindahan vegetasi dan tanaman peneduh sebagai elemen
estetika lingkungan
- RAMAH TAMAH
a. Sikap masyarakat yang mencerminkan suasana akrab, terbuka
dan menerima hingga wisatawan betah atas kunjungannya
b. Jadi tuan rumah yang baik & rela membantu para
wisatawan
c. Memberi informasi tentang adat istiadat secara spontan
d. Bersikap menghargai/toleran terhadap wisatawan yang
datang
e. Menampilkan senyum dan keramah-tamahan yang tulus.
f. Tidak mengharapkan sesuatu atas jasa telah yang diberikan
- KENANGAN
a.
Kesan
pengalaman di suatu destinasi wisata akan menyenangkan wisatawan dan membekas
kenangan yang indah, hingga mendorong pasar kunjungan wisata ulang
b.
Menggali dan
mengangkat budaya lokal.
c.
Menyajikan
makanan/ minuman khas yang unik, bersih dan sehat.
d.
Menyediakan
cendera mata yang menarik
BAB
III
METODE
PENULISAN
3.1 Jenis Metode Penulisan
Data-data
yang dipergunakan dalam karya tulis ini
bersumber dari berbagai refrensi, literature, dan data-data dari internet yang
relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Jenis data yang diperoleh
berupa data sekunder yang bersifat kualitatif.
Dan penulis juga mendapatkan data
melalui wawancara langsung dengan Kepala Kelurahan Serangan (Bapak Poniman) dan
warga setempat, pada tanggal 27 Mei 2012.
3.2 Fokus Penulisan
Fokus penulisan
dalam karya tulis ini adalah pada dampak yang disebabkan oleh pembangunan Bali
Turle Island Development (BTID) di Pulau Serangan, Provinsi Bali. Melalui
tulisan ini kami memberikan solusi dalam menghadapi dampak negative yang
disebabkan oleh pembangunan BTID ini, yaitu dengan lebih mengembangkan Sapta
Pesona di Pulau Serangan.
3.3 Prosedur
Pengumpulan Data
Dalam
penulisan karya tulis ini digunakan metode studi pustaka yang didasarkan atas
hasil studi terhadap berbagai literatur yang telah teruji validitasnya, berhubungan
satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau
analisis pembahasan mengenai Pulau Serangan, Bali Turtle Island Development (BTID) dan Sapta Pesona.
3.4 Pengolahan Data
Pengolahan
data yang dipergunakan dalam karya tulis ini bersumber dari wawancara langsung
dengan Kepala Kelurahan Serangan dan warga setempat. Selain itu, penulis juga
menggunakan data yang berasal dari literatur yang telah teruji validitasnya.
3.5
Analisis dan Sintesis
Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif kualitatif, yaitu teknik analisis dengan menggunakan data melalui
analisis serta menguraikannya dalam bentuk kata. untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan dan rumusan masalah yang sudah ditetapkan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1.Dampak
Proyek Bali Turtle Island Development (BTID) terhadap Lingkungan, Ekonomi, dan
Sosial Budaya Masyarakat Serangan
4.1.1
Dampak Lingkungan
Menurut
beberapa warga Serangan, “sebelum reklamasi kekayaan alam di sini paling kaya”,
akan tetapi, “sekarang mati semuanya”. Memang, daerah pesisir Pulau Serangan
sudah dimasukkan golongan ‘pesisir mengalami stres’ oleh tim peneliti dari
Kanada. Cerita dari masyarakat mendukung pernyataan ini. Penduduk yang
diwawancarai setuju bahwa sekarang lingkungan Serangan rusak akibat proyek
BTID. Menurutnya, di laut ikan kurang, dan kepiting, udang dan cumi-cumi sama
sekali tidak ada di dataran pasang surut; masih ada karang, tetapi agak rusak;
rumput laut yang dulu ada banyak hampir hilang; dan jalan air berubah dekat
pulau karena kedalaman yang dulu rata-rata 3 meter sekarang 10 meter.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
Salah
satu pelanggaran Amdal yang dampak
lingkungannya sangat parah merupakan jembatan di jalan penyeberangan. Pada
waktu keberhentian proyek, jembatan belum dibangun sesuai Amdal. Jalan tersebut
merupakan tembok dari daratan Bali ke Pulau Serangan, dan menyebabkan abrasi
pantai di beberapa tempat di sekitar kawasan proyek. Tokoh lingkungan di
masyarakat banyak melobi pemerintah daerah, yang akhirnya menuntut bahwa
jembatan itu dibangun, panjangnya minimal 100 meter, walaupun pengamat
lingkungan mengusulkan bahwa jembatan itu seharusnya dibuat sepanjang 200
sampai 300m sesuai dengan lebar selat asli supaya sirkulasi arus lancar. BTID
menegaskan bahwa pihaknya akan mulai membangun jembatan itu pada bulan Maret
2000, dengan panjang lebar 100 x 26,5m, akan tetapi, jembatan itu hanya
diselesaikan pada pertengahan tahun 2001. Sekarang, walaupun ada jembatan,
abrasi pantai masih terjadi akibat proyek BTID, mengingatkan bahwa dalam
rencana Kodam pertama salah satu tujuan pembangunan adalah menyelamatkan
kondisi fisik Pulau Serangan dari abrasi.
Perubahan Arus Laut
Menurut
pakar lingkungan Made Mangku, di sebelah selatan pulau, arus dari laut lepas
masuk Teluk Benoa, dan dipercepatkan dan diperkuatkan karena kegiatan reklamasi
menyempitkan jarak antara Tanjung Benoa dan Pulau Serangan. Akibatnya, arus ini
menyebabkan abrasi di sebelah Tanjung Benoa, yang merupakan sebelah yang lebih
lemah karena sebelah Serangan diperkuatkan oleh reklamasi, dan dengan
mengurangkan pantai dari 100 meter sampai 50 meter, sudah mengancam 3 tempat
ibadah. Di sebelah utara, arus laut masuk daerah di sebelah utara pulau, hanya
sedikit bisa beredar (karena jalan penghubung menghambatkan peredaran air),
maka arus itu keluar lagi melewati Pantai Mertasari, akibatnya terjadi abrasi
di pantai itu.
Selain
abrasi, akibat pemotongan arus laut ada penumpukan lumpur dan sampah di daerah
hutan bakau di sebelah barat Pulau Serangan. Dulu, pada waktu air pasang, air
laut di belakang Pulau Serangan bisa keluar lagi karena ada sirkulasi air laut.
Sekarang, walaupun ada alur untuk air laut di bawah jembatan, alur itu hanya
sempit dan kebanyakan air tidak bisa keluar, maka sampah dan lumpur yang dibawanya
ditempatkan di hutan bakau dan di pelabuan.
Kehilangan
Ekosistem Penting
Habitat yang mendukung
kehidupan manusia dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengerukan
yang dilakukan BTID menimbulkan kerusakan pada flora dan fauna laut. Akibat
reklamasi, terumbu karang di perairan Pulau Serangan terancam mati. Ekosistem
terumbu karang sangat penting, sebagai lahan hidup ikan dan fauna laut lain,
dan pemecah ombak yang melindungi pantai dari abrasi. Akibatnya, terjadi
sedimentasi dan meningkatnya kekeruhan air, yang menimbulkan tekanan pada
seluruh sistem karang. Lumpur atau ‘silt’ dari usaha pengerukan menutupi
karang, yang akibatnya mati. Sekarang pentutupan karang
hidup di perairan Serangan berkisar antara 38.08% (sedang) hingga 63% (baik) di
kedalaman 3 meter, sementara di kedalaman 10 meter, penutupan karang hidup
berkisar antara 0.7% (buruk) hingga 65.8% (baik). Penutupan karang mati di
kedalaman 3 meter berkisar antara
15.94% hingga 45.16%, dan pada kedalaman 10 meter berkisar antara
0.3% hingga 42.9%. Perairan di Pulau
Serangan dinilai masih mampu memberikan kapasitas cukup bagi pertumbuhan
terumbu karang dengan baik. Namun, di beberapa lokasi tingkat kekeruhan perairan
yang tinggi akibat sedimentasi sangat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang.
Terumbu
karang di Pulau Serangan juga dirusak karena penambangan karang. Hal ini juga
merupakan dampak BTID secara tidak langsung, karena penambang karang itu
melaporkan bahwa mereka ‘terpaksa’ mengambil batu karang karena mata
pencahariannya dulu, yaitu ikan hias dan ikan konsumpsi, sudah hilang akibat
reklamasi. Penelitian di Bali sudah menunjukkan bahwa penambangan karang
menyebabkan kerusakan terumbu karang yang sangat serius, dengan menurunkan
persentage penutupan karang hidup, dan juga mengingkatkan jumlah karang mati
atau rusak.
Selain terumbu karang,
hutan bakau merupakan ekosistem yang penting sekali, sebagai tempat fauna laut
untuk mencari makanan dan berlindung, sebagai pelindung dari bahaya abrasi, dan
sebagai saringan untuk lumpur dari sungai. Di Pulau Serangan, kehilangan
habitat hutan bakau dinilai tidak bermasalah, asalkan penanaman kembali
terjadi. Namun, melihat sejarah hutan bakau di daerah Serangan, penanaman
kembali sering tidak terjadi. Misalnya, dulu di daerah Serangan (dari Sanur
sampai Nusa Dua) ada mangrove seluas 1373,5 ha. Sekarang ada 708,33 ha, dengan
kerusakan yang sudah mencapai lebih dari 600 ha. Yang diambil BTID 80,14 ha,
dengan perjanjian akan menanam kembali bakau itu, akan tetapi memang belum
terjadi. BTID juga menjanji akan melakukan rebiosasi, atau kompensasi hilangnya
hutan bakau setengah di Karangasem dan setengah di Jembrana, tetapi ini juga
belum terjadi. Rebiosasi tidak ada untungan karena kehilangan fungsi hutan
bakau, yang ada di daerah asalnya. Penurunan ikan karang yang dilaporkan
penduduk Serangan justru sebagian disebabkan oleh kehilangan ekosistem ini di
Pulau Serangan.
Kehilangan Penyu
Walaupun
Pulau Serangan dikenal sebagai ‘Pulau Penyu’, sekarang, menurut penduduk,
jarang penyu mendatang. “Kadang-kadang ada, tapi tidak seperti yang dulu, dan
mereka tidak bisa bertelur karena pantainya sudah direklamasi,” ujar Bapak
Sugita, Assisten Ketua Kelompok Nelayan Mina Cipta Karya. Dulu, pada tahun
70-an, banyak penyu bertelur di pasir kuning di sebelah timur dan selatan Pulau
Serangan. Menurut penduduk, setiap malam ada 10-15 ekor yang bertelur. Namun,
walaupun habitat penyu di Pulau Serangan sama sekali hilang akibat reklamasi
pantai, bahkan sebelum proyek BTID mulai jumlah penyu di perairan Bali sudah
menurun karena penangkapan (untuk konsumsi atau perjualan) dan kegangguan
habitatnya. Di Pulau Serangan, kondisi yang disukai penyu untuk bertelur sudah
berubah. Misalnya, pada tahun 70-an hanya ada 200-an KK di Serangan dan belum
ada listrik, maka penyu mendatang karena pulau itu masih alami dan tidak
diganggu orang. Walaupun begitu, juga ada beberapa kondisi alam yang mendukung
penyu-penyu bertelur yang hilang akibat reklamasi proyek BTID, antara lain,
arus laut dan pantai yang landai. “’Kan lucu. Nama proyeknya ‘Pembangunan Pulau
Penyu Bali’. Tetapi, setelah selesai kok tidak ada penyu,” kata Wyasa Putra,
pengamat lingkungan.
4.1.2 Dampak Ekonomi
Dampak
proyek BTID pada bidang ekonomi masyarakat Serangan pada umumnya kurang baik.
Nelayan
Di
Pulau Serangan 85% penduduk bekerja sebagai nelayan, termasuk nelayan pesisir
dan nelayan laut lepas. Dulu, sebelum reklamasi, pantai timur dan utara
Serangan adalah sumber penghidupan dan pendapatan mereka. Dari daerah itu,
mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan menyekolahkan anaknya.
Pada waktu siang, mereka menangkap ikan konsumsi, ikan hias, rumput laut, dan
kepiting. Pada waktu malam memakai lampu, bisa mencari udang, kepiting, ikan
konsumpsi, dan cumi-cumi. Pada saat itu, belum pernah mereka perlu bantuan dari
mana-mana. Jarang anaknya minta uang dari orang tuanya – kalau perlu uang,
mereka mencari ikan saja.
Sekarang,
70% dataran pasang surut hilang akibat reklamasi. Juga, akibat penimbunan, arus
laut sekitar Pulau Serangan berubah, dan pola ikan juga berubah. Untuk nelayan
pesisir yang tidak mampu pergi ke laut lepas, hal ini sangat mengawatirkan.
Mereka menanggap “kehidupan nelayan di Serangan kini mati. Kami tidak bisa
bekerja apa-apa”.
Penambang perahu penyebrangan
Dulu, sebelum
proyek BTID, ada 38 KK yang bekerja sebagai penambang perahu penyebrangan dari
daratan Bali ke Pulau Serangan. Dalam satu hari mereka bisa mendapat uang cukup
untuk biaya keluarga (Rp50.000), dan dalam tiga hari saat upacara Kuningan di
Pura Sakenan, penambang ini bisa memperoleh Rp3 juta. Setelah BTID membangun
jalan penghubung, 38 orang ini sama sekali tidak ada pekerjaan lagi.
Kafe dan Kios
Sebagian
masyarakat Serangan sudah mencari nafkah di tempat lain, dengan membangun
kafe-kafe (tempat hiburan malam, yang mana ada karaoke dan minuman keras), dan
juga warung (disebut ‘kiosk’) di pantai timur, pada tanah yang dimiliki BTID.
Kios
di pantai timur dimiliki kelompok Ibu-Ibu, namanya “Pedagang Pantai Timur”,
yang sudah berlanjut 3 tahun. Setiap hari mereka harus berjalan satu setengah
jam satu jalur ke pantai timur. Katanya, pada tahun 70-an dulu mereka menjual
cenderamata di taman penyu dan bisa mendapat kira-kira Rp50.000/hari. Tetapi,
setelah proyek BTID mulai, lokasi taman wisata itu menjadi tanah proyek, dan
mereka harus mencari mata pencaharian lain. Sekarang, di pantai timur, mereka
menjual minuman, makanan dan oleh-oleh kecil kepada pendatang, kebanyakannya surfers yang datang ke tempat selancar terkenal
itu. Uang dari oleh-oleh itu setiap hari dibagi antara mereka, yang jumlahnya
sekarang 15 orang.
Walaupun
ibu-ibu ini sangat kreatif di bidang bisnis, mereka menanggap bahwa “nasib kita
sesungguhnya bak menunggu di depan mulut harimau yang kelaparan.” Soalnya,
karena gelombang di pantai timur hanya baik kalau angin dari barat, yaitu bulan
Nopember sampai Maret, selama kebanyakan setiap tahun pariwisata hanya sedikit.
Juga, sejak serangan teroris di Amerika Serikat tahun yang lalu, pariwisata
semakin sedikit. Bahkan, tamu yang berkunjung ke pantai timur “bisa dihitung
dengan jari saja.” Dengan demikian, mereka ‘bankrut’ – kadang-kadang mendapat
Rp5.000/hari, sering tidak ada uang sama sekali.
Penambangan Karang
Akibat
kerusakan terumbu karang dan padang rumput laut alami di perairan Pulau
Serangan karena pengerukan dan penimbunan proyek BTID, nelayan pesisir
kehilangan mata pencaharian. Walaupun penambangan karang dilanggar, penduduk
ini merasa terpaksa melakukannya karena mata pencaharian dulu sudah hilang.
“Tidak ada jalan lain sekarang. Kalau ada pekerjaan lain, aku pasti mau ikut.”
Mereka juga tahu penambangan karang merusak lingkungan, “tapi daripada saya
tidak makan, ya lebih baik mengambilnya.”
Masyarakat
melapor bahwa batu karang itu dibeli untuk pura dan bangunan lain. Hampir semua
pembeli batu karang berasal dari kalangan perhotelan dan orang-orang berduit
saja, karena harganya yang relatif mahal.
4.1.3 Dampak Sosial Budaya
Proyek
BTID sudah menimbulkan permaslahan untuk aspek sosial budaya masyarakat
Serangan. Walaupun dampak ini susah dinilai secara materi, masalah tersebut
yang muncul merupakan dampak yang sangat penting diperhatikan karena
mempengaruhi inti masyarakat Serangan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia - Pembebasan Tanah
Pembebasan tanah di Pulau Serangan tidak dilakukan
sesuai proses jual beli, yang ada pemohonan kepada pemilik tanah. Namun, tanah
yang dibeli dilakukan secara paksa dan penuh intimidasi. Pemilik lahan dipaksa
menyetujui harga Kodam, yaitu Rp2.500.000 per are (100m2), walaupun
harga pasar pada waktu itu antara Rp15-20 juta/are. Beberapa warga dipaksa
untuk menyerah sejumlah uang tertentu sebesar Rp800.000 dari hasil ganti
ruginya kepada oknum-oknum aparat Kodam. Ada yang tidak dibayar semua ganti
ruginya, dan juga ada yang tanahnya salah diukur dan mereka dibayar setengah
ganti rugi saja. Selain itu, uang ganti rugi dipaksa ditabung ke bank-bank yang
sudah ditentukan, yang nanti kebankrutan dan terkena likuidasi. Akhirnya, surat
pernyataan penyerahan hak milik yang terpaksa ditandatangani warga, digunakan
sebagai bukti pembayaran pihak oleh Kodam dan panitia pembebasan tanah, namun
hingga ini pembayaran ganti rugi belum lunas semuanya.
Dalam proses ganti rugi juga ada masalah dengan
sertifikat hak milik tanah. Ada beberapa pemilik tanah yang sebagian tanahnya
ditukar dengan lahan, akan tetapi tanpa
sertifikat milik tanah sampai tahun 2001. Akhirnya, pada bulan April 2001, ada
Berita Acara serah sertifikat hak milik atas tanah kepada enam pemilik tanah
itu, yang mewakili sebelas warga Serangan. Akan tetapi, sesudahnya mereka
mengancam akan melaporkan BTID kepada polisi karena merasa tertipu.
Gangguan Terhadap Kesucian Pura
Di
Pulau Serangan terdapat pura di semua jarak, yang dianggap membuat pulau itu
aman. Ada tiga pura desa yang penting untuk perhubungan dan identitas sosial,
keagamaan, kebudayaan dan ekonomis. Selain itu, ada Pura Pat Payung, yang
disebut pura wong gamang yang
dianggap melindungi Pulau Serangan; Pura Tirta Arum, yang dikunjungi orang dari
seluruh Bali yang datang untuk mengambil airnya yang dipercayai menyembuh
penyakit kulit; Pura Encakan Tingkih, yang ada hubungan khusus dengan
penangkapan ikan; Pura Tanjung Sari; dan pura-pura lain.
Selain
pura-pura ini, ada Pura Sakenan, yang pentingnya kedua di seluruh Bali sebagai
sebuah Pura Sad Kayangan (‘enam
pura’). Menurut pemangku, pura ini dibangun kira-kira abad ke-16, dan sampai
sekarang tidak diganti sama sekali. Puncak
upacara di Pura Sakenan adalah Kuningan, yang dirayakan sekali enam bulan.
Selama upacara itu, antara 25.000 dan 50.000 orang dari seluruh Bali datang ke
Pura Sakenan, dan kira-kira 6000 menginap di laba pura atau lahan pura.
Mengenai
Pura Sakenan, masyarakat Bali tidak memprotes pada awal proyek karena mereka
tidak tahu tentang proyek BTID, selain bahwa tanah penduduk Serangan dibebaskan
untuk ‘kepentingan negara’. Namun, ketika BTID muncul waktu penimbunan mulai,
ada kekhawatiran di masyarakat atas gangguan kesucian Pura Sakenan. Di Pulau
Serangan, survei Andal menemukan bahwa 66,66% responden khawatir atas gangguan
terhadap kesucian pura akibat proyek BTID. Namun, melihat bahwa pura ini
merupakan integral untuk kehidupan keagamaan Bali (sebagai salah satu Pura Sad Kayangan) bisa dikatakan bahwa angka
ini agak konservatif. Bahkan, ‘lahan sakral’ di Pulau Serangan tidak
diperhitungkan dalam Amdal BTID, yang termasuk jalan penghubung yang sedekat
200m Pura Sakenan. Ternyata, jumlah 90% pembangunan BTID terletak di dalam
ruang sakral itu.
Kebudayaan dan Lahan
Di Bali ada
hubungan kuat antara lahan atau ‘bumi’ serta kehidupan agama-sosial dan
kewargaan. Secara tradisional, lahan desa, termasuk lahan pemukiman, tidak bisa
dijual karena lahan itu merupakan warisan dari nenek moyangnya, yang dipercayai
masih tinggal di sana. Kepentingan ini dilihat di Pulau Serangan waktu
masyarakat sangat menolak penjualan lahan pura dan perpindahan setra (kuburan
Hindu) oleh BTID, dan juga rencana BTID untuk merelokasikan semua pura-pura
yang di luar pemukiman ke satu kompleks supaya masyarakat tidak akan pergi ke
lahan BTID. Akhirnya BTID membatalkan rencananya yang berdampak pada
tempat-tempat suci ini. Selain itu, hukum adat dan institusi desa adat
mendapatkan kekuasaannya dari lahan desa adat itu. Dengan demikian, ketika BTID
mengambil lahan desa adat secara terpaksa, dan merubah bentuk pulaunya, bisa
dikatakan bahwa mereka meruntuhkan kekuasaan metafisikal Pulau Serangan, dan
kekuasaan desa adat sebagai sebuah kolektip.
Perubahan Kebudayaan
Penimbunan pada
dataran pasang surut, kerusakan lingkungan lain, dan pembebasan tanah
perkebunan, menyebabkan terganggunya kehidupan masyarakat, yang mana kebanyakan
penduduk Serangan kehilangan apa yang disebut ‘budaya primal’, yakni budaya
nelayan dan petani. Artinya, mereka akan berada dalam kebingungan, akibat
perubahan prilaku dari budaya petani atau nelayan ke budaya lain. Hal ini
bermasalah untuk orang ini, yang selain nelayan atau petani tidak ada
ketrampilan lain, karena budaya baru itu tidak jelas. Masyarakat di Serangan
pada umumnya tidak berpendidikan, yaitu, walaupun 59,98% penduduk tamat dari
Sekolah Dasar, hanya 8,55% tamat Sekolah Menengah Pertama, dan 4,26% tamat
Sekolah Menengah Atas. Akibatnya, waktu pekerjaannya sebagai nelayan atau
petani hilang, susah untuk mereka mengalih profesi, dan mereka ‘tidur-tiduran’
saja. Dengan demikian, masyarakat Serangan berubah dari budaya nelayan yang
makmur, kepada budaya yang bersifat banyak pengangguran, waktu bebas, dan
ketidakpastian.
Konflik Masyarakat
Sebelum
adanya proyek BTID masyarakat hidup dengan aman dan tentram relatif dalam
melaksanakan kehidupan sehari-harinya, tapi dengan adanya proyek BTID, telah
menimbulkan permasalahan yang baru bagi masyarakat, yaitu konflik dalam
masyarakat Serangan. Dulu, konflik dalam masyarakat Serangan adalah menurut
pembelahan partai politik daripada pembelahan etnik antara orang Bugis dan
Bali. Bahkan, warga Bugis berhidup rukun dengan warga Hindu Pulau Serangan dan
dianggap “bersaudara”.
Dengan
adanya proyek BTID, konflik dalam masyarakat muncul antara pemilik tanah dan
yang tidak memiliki tanah; antara yang menyetujui proyek, dan yang menolak; dan
selama beberapa tahun terakhir ini, yang mau tanahnya dikembalikan dan yang mau
ganti rugi. Setelah penurunan Presiden Suharto tahun 1998, dengan mulainya era
reformasi, pemilik tanah berani untuk menolak BTID. Mereka yang paling
dipengaruhi oleh proyek BTID pada waktu itu, karena tanahnya dibebaskan dengan
ganti rugi yang tidak sesuai. Dengan menolak proyek, masyarakat lain menanggap
mereka menghambat proyek, yang dipikirkan akan memberikan pekerjaan dan
kehidupan yang lebih baik.
4.2 Solusi
Terhadap Dampak Negatif Proyek Bali
Turtle Island Development (BTID) yang Terjadi di Pulau Serangan
Dengan mengetahui
beberapa dampak negative yang ditimbulkan dari pembangunan Bali Turtle Island
Development (BTID) di Pulau Serangan baik itu dampak lingkungan, ekonomi, dan
sosial budaya. Kita sebagai generasi muda harus berpikir bagaimana cara yang
tepat untuk mempertahankan eksistensi Pulau Serangan sebagai daerah pariwisata
di Provinsi Bali.
Masalah lingkungan yang
terjadi karena proyek BTID dapat ditanggulangi dengan melakukan kebersihan
lingkungan dan menjaga kondisi serta memperbaiki sebisa mungkin untuk
pengembangan pariwisata. Masalah ekonomi yang terjadi yaitu pengurangan
penghasilan nelayan, penambang, dan sebagainya dapat beralih profesi ke bidang
pariwisata, contohnya nelayan sekarang ini dapat beralih profesi membawa
wisatawan untuk mengitari Pulau Serangan dengan menggunakan perahu. Masalah
sosial budaya yang terjadi dapat diselesaikan dengan rasa saling toleransi dan
pengertian antara satu warga dengan warga lainnya.
Pada tanggal 25
November 2011 lalu, di Pulau Serangan diadakan Pesona Pulau Serangan 3
(Serangan Island Green Festival 2011) dengan tema Sira Angen “Vivacious Colors of Serangan Island”. Dengan
diadakannya Pesona Pulau Serangan ini diharapkan dapat meningkatkan eksistensi
pulau Serangan dalam kancah pariwisata Bali. Untuk menjadi daerah pariwisata
yang dapat terus eksis di bidang pariwisata, kita dapat menerapkan Sapta Pesona
di Pulau Serangan. Karena dengan Sapta Pesona ini dapat menarik minat wisatawan
berkunjung ke Pulau Serangan untuk betah tinggal di Pulau Serangan, merasa puas
akan kunjungannya ke Pulau Serangan dan member kenangan yang indah dalam
hidupnya tentang Pulau Serangan.
Unsur-unsur dalam Sapta
Pesona yang perlu dikembangkan di desa Serangan :
1.
Keamanan
a.
Menciptakan
kawasan Pulau Serangan yang aman, bebas dari tindakan criminal.
b.
Menciptakan
kondisi yang kondusif di bidang kesehatan di Pulau Serangan, contohnya :
terbebas dari penyakit menular.
c.
Mengurangi
tindakan pemaksaan dalam pembelian barang-barang dan tindakan-tindakan
pemerasan, karena hal ini dapat mengurangi kenyamanan wisatawan untuk
berkunjung.
2.
Ketertiban
a.
Menciptakan
kondisi lalu lintas yang lancar untuk jalur pariwisata ke Pulau Serangan.
b.
Membuat tata
pembangunan bagunan yang tertib dan rapi, sehingga menimbulkan kesan indah
dipandang mata.
3.
Kebersihan
a.
Menciptakan
Pulau Serangan yang bersih dari sampah.
b.
Menyediakan
makan yang sehat dan higenis
c.
Petugas yang
bertugas untuk menyambut wisatawan harus bersih dan rapi serta tidak
menimbulkan bau yang tidak sedap.
4.
Kesejukkan
a.
Memelihara
penghijauan yang telah dilakukan oleh pemerintah.
b.
Melakukan
penghijauan di areal rumah warga di Pulau Serangan, sehingga dapat meningkatkan
kesejukkan di Pulau Serangan.
5.
Keindahan
a.
Menciptakan
pengaturan yang serasi dan selaras sehingga menimbulkan kesan yang indah.
b.
Serta
menunjukkan sifat-sifat kepribadian Nasional.
6.
Keramahan
a.
Menciptakan
situasi yang ramah tamah dalam hal komunikasi dengan wisatawan yang berkunjung
ke Pulau Serangan.
b.
Menghormati tamu
yang berkunjung ke Pulau Serangan dan dapat menjadi tuan rumah yang baik.
7.
Kenangan
a.
Kenangan dapat
diciptakan dengan menyediakan akomodasi yang baik dah lengkap di Pulau
Serangan.
b.
Selain itu juga,
Pulau Serangan dapat memberikan atraksi budaya yang memberikan kesan berbeda
antara Pulau Serangan dengan objek wisata lainnya di Provinsi Bali.
c.
Kenangan yang
baik juga dapat ditimbulkan dari hidangan makanan yang enak dan penyajian yang
menarik serta higenis.
d.
Adanya cindera
mata yang menarik dan dengan harga yang murah juga dapat memberikan kesan yang
berbeda pada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Serangan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari pembahasan
yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat menyimpulkan bahwa :
- Dampak yang ditimbukan dari pembangunan Bali Turtle Island Development di Pulau Serangan adalah
a)
Dari segi
lingkungan adalah pelanggaran terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal), perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, dan kehilangan
penyu.
b)
Dari segi
ekonomi adalah mengurangi pendapatan nelayan, penambang perahu penyebrangan,
café dan kios, dan penambang karang.
c)
Dari segi sosial
budaya adalah pelanggaran hak manusia dalam pembebasan tanah, gangguan kesucian
pura, masalah kebudayaan dan lahan, perubahan kebudayaan dan konflik
masyarakat.
- Solusi yang efektif dan efisien yang dapat dilakukan untuk menangani dampak buruk yang terjadi adalah dengan mengembangkan sector pariwisata di Pulau Serangan dan lebih mengembangkan konsep Sapta Pesona di Pulau Serangan.
5.2
Saran
Dari
pembahasan sebelumnya, kami dapat memberikan saran-saran sebagai berikut :
a. Kepada
masyarakat diharapkan untuk meningkatkan antusias untuk mengembangkan
pariwisata dan kebudayaan yang ada di Pulau Serangan.
b.
Kepada pemerintah, khususnya pemerintah
daerah untuk lebih memfokuskan peningkatan fasilitas yang terdapat di Pulau
Serangan guna meningkatkan kenyamanan para wisatawan yang berkunjung.
Tulisannya bagus, sangat bermanfaat
BalasHapus