2.1 Dasar Teori Pemungutan Pajak
- Teori Asuransi
Teori ansuransi diartikan dengan suatu
kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh Negara. Negara disamakan
dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga Negara membayar
pajak sebagai premi. Teori ansuransi ini hanya member landasan saja, karena pada
dasarnya teori ini tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak.
- Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai Negara
yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga Negara dengan
memerhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh
penduduknya. Pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu
yang diperoleh dari pekerjaaan Negara, semakin banyak individu mengenyam atau
menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
- Teori Gaya Pikul
Teori ini adalah asas keadilan yang setiap
orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. mengemukakan bahwa pemungutan
pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak
(individu-individu), perlu diperhatikan antara besaranya penghasilan atau
kekayaan dengan pengeluaran belanja si wajib pajak tersebut. Teori gaya pikul
ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih menekankan pada unsur
kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
Gaya pikul adalah kemampuan wajib pajak
memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Gaya pikul mengandung dua
unsur yaitu:
a.
Unsur subyektif ini mencakup segala kebutuhan terutama
material di samping moral dan spiritual. Dengan demikian pajak subyektif harus
memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup minimum dan memperhatikan
faktor-faktor perseorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar
kecilnya biaya hidup, seperti jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.
b.
Unsur obyektif ini terdiri dari pendapatan
(penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran).
- Teori Daya Beli
Teori yang menekankan bahwa pembayaran
pajak yang dilakukan kepada Negara dimaksudkaan untuk memelihara masyarakat
dalam Negara yang bersangkutan. Fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai
gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli
dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian memelihara
hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
- Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi Negara
(organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai
suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu maka timbul hak mutlak
Negara untuk memungut pajak. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada Negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara merupakan
bakti dari masyarakat kepada Negara, karena negaralah yang bertugas
menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
2.2 Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara
pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan
kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh.
Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh
suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya
tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan
pajak.
- Asas Tempat Tinggal
Merupakan asas pemungutan pajak
berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang, tanpa memerhatikan apakah
orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga Negara asing.
2. Asas Kebangsaan
Merupakan asas pemungutan pajak yang
didasarkan pada kebangsaan suatu Negara. Suatu Negara akan memungut pajak
kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas Negara yang bersangkutan
sekalipun orang tersebut tidak tinggal di Negara yang bersangkutan.
- Asas Sumber
Merupakan asas pemungutan pajak yang
didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber
penghasilan berada di suatu Negara maka Negara tersebut berhak memungut pajak
kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber
penghasilan tersebut berada.
2.3 Stelsel Pemungutan Pajak
Menurut teori, ada tiga cara
pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu stelsel fiksi, stelsel riil, dan
kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil.
a.
Stelsel
Fiksi (Pengenaan di Depan)
Pengenaan
di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu
anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama
dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang
sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya
,menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan
adanya anggapan yang demikian, fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya
utang pajak pada tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya
angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu
sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.
b.
Stelsel
Riil (Pengenaan di Belakang)
Pengenaan
di belakang merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau
nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya pajak yang
diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui akhir tahun, maka pengenaan baru
dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dalam UU PPh, pengenaan pajak
cara di belakang diketahui dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 29, yang
selengkapnya menyatakan: Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalm Pasal 28
ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
c.
Kombinasi
Stelsel Fiksi dan Stelsel Riil (Pengenaan Cara Campuran)
Pengenaan
cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua
cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan
mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU, yang
selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak
berdasrkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prisipnya mendasarkan
pengenaan pajak dengan cara campuran ini. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU
PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang.
Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses
pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh
pemerintah.
2.4 Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis
pajak dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu menurut sifatnya, objeknya,
dan lembaga pemungutannya.
a.
Menurut
Sifatnya
Terbagi menjadi 2
yaitu, pajak langsung dan tidak langsung.
-
Pajak Langsung adalah pajak-pajak yang
bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan
kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu
tertentu, misalnya PPh.
-
Pajak tidak langsung adalah pajak yang
bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan
Nilai.
b.
Menurut
Sasaran/Objeknya
Terbagi menjadi dua
yaitu, pajak subjektif dan pajak objektif.
-
Pajak subjektif adalah jenis pajak yang
dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak
(subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjenya barulah diperhatikan keadaan
objeknya sesuai gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya
PPh.
-
Pajak Objektif adalah jenis pajak yang
dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan /melihat objeknya, baik berupa
keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar
pajak. Setelah itu, baru dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hokum dengan
objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
c.
Menurut
Lembaga Pemungutannya
Pajak
dapat dibagi menjadi dua yaitu, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
(pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).
1.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutannya dikumpulkan
dan dmasukkan sebagai bagian dari APBN. Jenis pajak pusat adalah PPh, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan,
Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.
Pajak daerah adalah jenis pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan
oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan
dimasukkan sebagai bagian dari APBD. Sesuai UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dipenda adalah :
-
Pajak Daerah Tk. I :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
-
Pajak Daerah Tk. II:
a. Pajak Hotel dan Restaurant
b. Pajak Hiburan
c. Pajak Reklame
d. Pajak Penerangan Jalan
e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan
Selain itu ada juga tiga jenis
retribusi yaitu, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi
Perizinan Tertentu.
2.5
Sistem
Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak dilakukan dengan empat cara :
1. Official Assessment System
Sistem ini dilaksanakan sampai pada tahun 1967. Pada sistem ini wewenang
pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiscus memiliki hak untuk menentukan besarnya
utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan
pajak, sebagai bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi Wajib Pajak (WP)
bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya. Sistem
ini menguntungkan pihak fiscus yang menyalahgunakan kewenangannya untuk mencari
kesempatan dalam kesempitan misalnya dalam proses negosiasi penetapan atau
perhitungan besarnya pajak seringkali muncul tawar menawar antara fiscus dan
WP. Hal ini dimungkinkan juga karena pada sistem ini petugas pajaklah yang
mendatangi masyarakat untuk mendaftar warga masyarakat sebagai WP.
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung
pada aparat perpajakan, yang berakibat kurangnya kesadaran atau tanggung jawab
dari WP dalam memikul beban negara yang pada hakekatnya adalah untuk kepentingannya
sendiri dalam bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan;
2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.
2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.
3. Full self assessment system
Sistem ini berlaku efektif pada tahun 1984 atas dasar
perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983. Pada sistem ini WP
menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan sehingga
WP harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang tanpa
campur tangan dari fiscus. Penerapan sistem ini untuk memberikan kepercayaan
yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran dan
peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya