Rabu, 05 Juni 2013

PEMUNGUTAN PAJAK



2.1 Dasar Teori Pemungutan Pajak
  1. Teori Asuransi
Teori ansuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh Negara. Negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga Negara membayar pajak sebagai premi. Teori ansuransi ini hanya member landasan saja, karena pada dasarnya teori ini tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak.
  1. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai Negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga Negara dengan memerhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaaan Negara, semakin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
  1. Teori Gaya Pikul
Teori ini adalah asas keadilan yang setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu-individu), perlu diperhatikan antara besaranya penghasilan atau kekayaan dengan pengeluaran belanja si wajib pajak tersebut. Teori gaya pikul ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih menekankan pada unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
Gaya pikul adalah kemampuan wajib pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Gaya pikul mengandung dua unsur yaitu:
a.       Unsur subyektif ini mencakup segala kebutuhan terutama material di samping moral dan spiritual. Dengan demikian pajak subyektif harus memberi pembebasan pajak untuk biaya hidup minimum dan memperhatikan faktor-faktor perseorangan dan keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya hidup, seperti jumlah anggota keluarga atau jumlah tanggungan.
b.      Unsur obyektif ini terdiri dari pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran).
  1. Teori Daya Beli
Teori yang menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara dimaksudkaan untuk memelihara masyarakat dalam Negara yang bersangkutan. Fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.
  1. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi Negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu maka timbul hak mutlak Negara untuk memungut pajak. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada Negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara merupakan bakti dari masyarakat kepada Negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakat.


2.2 Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak.
  1. Asas Tempat Tinggal
Merupakan asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang, tanpa memerhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga Negara asing.
2.      Asas Kebangsaan
Merupakan asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu Negara. Suatu Negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas Negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak tinggal di Negara yang bersangkutan.
  1. Asas Sumber
Merupakan asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu Negara maka Negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada.


2.3 Stelsel Pemungutan Pajak
            Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu stelsel fiksi, stelsel riil, dan kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil.
a.      Stelsel Fiksi (Pengenaan di Depan)
Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU. Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya ,menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan yang demikian, fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak pada tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.

b.      Stelsel Riil (Pengenaan di Belakang)
Pengenaan di belakang  merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya pajak yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara di belakang diketahui dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 29, yang selengkapnya menyatakan: Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalm Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

c.       Kombinasi Stelsel Fiksi dan Stelsel Riil (Pengenaan Cara Campuran)
Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasrkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prisipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh pemerintah.


2.4 Penggolongan Jenis Pajak
            Jenis-jenis pajak dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu menurut sifatnya, objeknya, dan lembaga pemungutannya.
a.      Menurut Sifatnya
Terbagi menjadi 2 yaitu, pajak langsung dan tidak langsung.
-          Pajak Langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya PPh.

-          Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.


b.      Menurut Sasaran/Objeknya
Terbagi menjadi dua yaitu, pajak subjektif dan pajak objektif.

-          Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjenya barulah diperhatikan keadaan objeknya sesuai gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya PPh.

-          Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan /melihat objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah itu, baru dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hokum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
c.       Menurut Lembaga Pemungutannya
Pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).

1.      Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan dmasukkan sebagai bagian dari APBN. Jenis pajak pusat adalah PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.      Pajak daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Hasil dari pemungutannya dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari APBD. Sesuai UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang dikelola oleh Dipenda adalah :

- Pajak Daerah Tk. I :
   a. Pajak Kendaraan Bermotor
   b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
   c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

- Pajak Daerah Tk. II:
         a. Pajak Hotel dan Restaurant
         b. Pajak Hiburan
         c. Pajak Reklame
         d. Pajak Penerangan Jalan
         e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
         f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

         Selain itu ada juga tiga jenis retribusi yaitu, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.

2.5     Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dilakukan dengan empat cara :

1. Official Assessment System
Sistem ini dilaksanakan sampai pada tahun 1967. Pada sistem ini wewenang pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiscus memiliki hak untuk menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak, sebagai bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi Wajib Pajak (WP) bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya. Sistem ini menguntungkan pihak fiscus yang menyalahgunakan kewenangannya untuk mencari kesempatan dalam kesempitan misalnya dalam proses negosiasi penetapan atau perhitungan besarnya pajak seringkali muncul tawar menawar antara fiscus dan WP. Hal ini dimungkinkan juga karena pada sistem ini petugas pajaklah yang mendatangi masyarakat untuk mendaftar warga masyarakat sebagai WP.
Kesimpulannmya kelemahan dari sistem official assessment ini adalah :
Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aparat perpajakan, yang berakibat kurangnya kesadaran atau tanggung jawab dari WP dalam memikul beban negara yang pada hakekatnya adalah untuk kepentingannya sendiri dalam bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan;

2. Sistem semi self Assessment system dan withholding system
Sistem ini dilaksanakan pada periode 1968-1983, semi self Assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak yaitu WP. dan fiscus. Mekanisme pelaksanaannya berdasarkan suatu anggapan bahwa WP. pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayarkan dan pada akhir tahun pajak besarnya pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiscus. Indonesia menerapkan sistem semi self Assessment ini bersama-sama dengan withholding system yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tatacara MPS dan MPO. With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga bukan pada fiscus maupun WP. Besarnya angsuran pajak ditentukan oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. Sistem ini lebih baik dari sistem sebelumnya (Official Assessment System), tetapi pada sistem ini juga masih terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh oknum pajak.
Tata cara MPS dan MPO yaitu suatu tata cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Maksudnya pajak dapat dihitung sendiri oleh WP dan oleh pihak ketiga berdasarkan suatu anggapan atau perkiraan mengenai besarnya utang pajak yang terutang. Pada tata cara MPS, masyarakat harus menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan dan labanya berikut pajak yang harus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara tanpa adanya campur tangan aparatur pajak. Aparatur pajak terbatas pada pemberian penerangan, penjelasan, penelitian dan pemeriksaan perhitungan dan penyetoran pajak kepada WP pada akhir tahun. Untuk menunjang perhitungan dengan sistem MPS agar pembayaran pajak tepat waktu dan kondisi yang memungkinkan bagi WP untuk melaksanakan kewajibannya, maka dirasa perlu adanya sistem MPO untuk melengkapi tatacara pelaksanaan MPS. Tatacara MPO adalah suatu tata cara untuk menghitung pajak orang lain serta melakukan pemotongan dan penyetoran pajak kepada kas negara dengan menunjuk peroranganatau badan-badan oleh Kantor Inspeksi Pajak (KIP) yang berwenang.

3. Full self assessment system
Sistem ini berlaku efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983. Pada sistem ini WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan sehingga WP harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang tanpa campur tangan dari fiscus. Penerapan sistem ini untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya

2 komentar: